Rabu, 23 Mei 2012

KARAENG GALESONG


Perjuangan Karaeng Galesong Di Tanah Jawa

Nama lengkapnya adalah, I Manindori I Kare Tojeng Karaeng Galesong. Dia adalah putra sulung Sultan Hasanuddin dari istri ke -4 nya, I Lo'mo Tobo'. Karaeng Galesong lahir di Majannang pada tahun 1655. Beliau di nobatkan sebagai Karaeng Galesong sejak usia 8 tahun.

Di awal tahun 1667, terjadi pertempuran sengit antara Kerajaan Gowa melawan Belanda di bawah pimpinan Speelman yang dibantu oleh Arung Palakka. Pada tanggal 18 November 1667, Sultan Hasanuddin akhirnya menandatangani perjanjian Bungaya.

Perjanjian Bungaya ini adalah awal petualangan Karaeng Galesong melawan Belanda di tanah Jawa. Rasa kecewa terhadap isi perjanjian Bungaya membuat Karaeng Galesong memilih pergi dari Kerajaan Gowa. Bersama sahabatnya Karaeng Bontomarannu, beliau berangkat ke Banten bersama ribuan prajurit Gowa. Saat itu, Karaeng Galesong adalah Panglima angkatan laut kerajaan Gowa.

Dari Banten, Karaeng Galesong mendengar perselisihan di kerajaan Mataram. Adalah Trunojoyo, seorang raja Madura yang tidak senang dengan Raja Mataram yang dianggapnya mendukung kolonial Belanda. Rasa keakraban dan prinsip nasionalisme yang mulai tumbuh dalam dada karaeng Galesong dan Karaeng Bontomarannu membuat mereka memutuskan meninggalkan Banten dan bergabung dengan pasukan pemberontak Trunojoyo. Agaknya kebencian terhadap Belanda sudah demikian besar di dada karaeng Galesong, sehingga dimanapun dan kapanpun ada kesempatan untuk menghadapi Belanda mereka pasti kesana.

Setibanya di Jawa Timur, Pasukan Karaeng Galesong bergabung dengan Trunojoyo dan dari pihak lawan adalah Susuhunan Mataram Amangkurat I bersama Belanda. Kisah perlawanan patriotik prajurit makassar di Jawa Timur begitu mengetarkan pihak lawan.

Belanda dan pasukan Mataram berhasil di pukul mundur tetapi sayang pada tahun 1672, Karaeng Bontomarannu gugur dalam sebuah pertempuran. Meninggalnya Karaeng Bontomarannu membuat semangat lasykar Makassar semakin besar untuk membalaskan dendam kepada Belanda. Dibawah kendali langsung Karaeng Galesong, Pasukan Trunojoyo semakin berjaya.

Hubungan antara Trunojoyo dan Karaeng Galesong kemudian dipererat dengan perkawinan Karaeng Galesong dengan putri Trunojoyo.

Kekalahan beruntun pihak Belanda, mendorong Gubernur jenderal belanda di Batavia mengirim arsitek perjanjian Bungaya Speelman ke Jawa Timur untuk memadamkan pemberontakan Karaeng Galesong.

Meninggalnya Karaeng Galesong ada 2 versi. yang pertama mengatakan bahwa beliau meninggal di Jepara pada 21 Oktober 1679 saat terjadi perang mati-matian selama 7 minggu melawan Belanda. Versi lain mengatakan bahwa karaeng Galesong berhasil di bujuk oleh Karaeng Naba, panglima Lasykar Daeng di Yogya untuk berhenti membantu Trunojoyo. Trunojoyo menjadi marah dan menghukum penggal Karaeng Galesong.

Setelah gugurnya Karaeng Galesong, perlawanan Trunojoyo menjadi kendur, sehingga beliau di tangkap Belanda dan di bunuh dengan sebuah tikaman langsung oleh Amangkurat II.

Berakhirnya perjuangan Karaeng Galesong di Jawa Timur adalah akhir perjuangan tak kenal gentar dari putra putri Makassar yang selama 12 tahun menghantui belanda. Dialah Karaeng Galesong, yang sepanjang hidupnya di berikan untuk menentang Belanda, baik itu di kampung halamannya di Makassar maupun di Kerajaan di jawa Timur.


Abadi di Ngantang

Adalah Ngantang, sebuah daerah di kabupaten Malang, tidak jauh dari kota Batu yang menjadi peristirahatan terakhir sang karaeng. Daerah ini sejuk dan asri, dan di sinilah terdapat sebuah pemakaman yang luasnya sekitar seratus meter persegi, dengan beberapa pohon kamboja tua.
Suasana pemakaman nampak bersih, hanya terdapat beberapa batu nisan dengan tatanan batu bata tua yang sudah berlumut dan sebuah gundukan agak memojok dengan nisan yang telah berlumut pula. Diyakini makam ini adalah kerabat Karaeng Galesong. Tidak jauh dari gundukan tersebut, terdapat batu nisan dari marmer yang tampaknya belum begitu lama dipasang. Di sinilah makam Karaeng Galesong berada. Kuburan yang ditata dengan tumpukan batu bata dipenuhi lumut. Di antara nisan dan kuburan, berdiri tiang sekitar satu meter dengan bendera merah putih. Di bawah kibaran bendera terdapat tulisan kata “pejuang”.
Pada prasasti marmer di kuburan itu, terukir tulisan berwarna emas menggunakan bahasa Arab, yang terjemahan bebasnya berarti, “di sinilah dimakamkan seorang pejuang yang berjuang dijalan Allah.” Di bawah prasasti ini terdapat tulisan nama sebuah kelompok pengajian, yang menyebut diri warga Malang keturunan Galesong.

Bugis Makassar di Malang

Masyarakat Bugis Makassar memang banyak bermukim di Malang dan sekitarnya. Karaeng Galesong pun menjadi kebanggaan. Ziarah ke makam sang karaeng merupakan rutinitas. Dua tahun lalu, misalnya, masayarakat Sulawesi-Selatan yang tergabung dalam Kerukunan Keluarga Sulawesi Selatan (KKSS Malang Raya) dan Ikatan Kekeluargaan Mahasiswa Indonesia Sulawesi-Selatan (IKAMI Sul-Sel Cab. Malang) mengadakan acara memperingati hari korban 40.000 Jiwa, yang salah satu kegiatannya adalah berziarah ke makam Karaeng Galesong.
Salah satu artikel di buletin Anging Mamiri yang diterbitkan oleh KKSS Malang raya, Salahauddin Basir menuliskan bahwa Dr. Wahidin Sudirohusodo, motor pergerakan Budi Utomo masih merupakan keturunan Galesong. Pada tahun 60-an, seorang guru besar di Universitas Gajah Mada bernama Prof. Mr.Djojodiguno, pakar hukum yang terkenal, sering bertutur kepada mahasiswanya bahwa ia berdarah Makassar, merupakan keturunan Karaeng Galesong. Tentu kita juga masih ingat, Setiawan Djodi, seniman dan budayawan yang dinobatkan sebagai keturunan Karaeng Galesong beberapa tahun lalu.

Sabtu, 19 Mei 2012

DAFTAR JUARA LIGA CHAMPIONS


Inilah daftar juara Liga Champions:
1955/56 Real Madrid
1956/57 Real Madrid
1957/58 Real Madrid
1958/59 Real Madrid
1959/60 Real Madrid
1960/61 Benfica
1961/62 Benfica
1962/63 Milan
1963/64 Internazionale
1964/65 Internazionale
1965/66 Real Madrid
1966/67 Celtic
1967/68 Manchester United
1968/69 Milan
1969/70 Feyenoord
1970/71 Ajax
1971/72 Ajax
1972/73 Ajax
1973/74 Bayern München
1974/75 Bayern München
1975/76 Bayern München
1976/77 Liverpool
1977/78 Liverpool
1978/79 Nottingham Forest
1979/80 Nottingham Forest
1980/81 Liverpool
1981/82 Aston Villa
1982/83 Hamburger SV
1983/84 Liverpool
1984/85 Juventus
1985/86 Steaua Bucuresti
1986/87 Porto
1987/88 PSV
1988/89 Milan
1989/90 Milan
1990/91 Crvena zvezda (Red Star)
1991/92 Barcelona
1992/93 Olympique Marseille
1993/94 Milan
1994/95 Ajax
1995/96 Juventus
1996/97 Borussia Dortmund
1997/98 Real Madrid
1998/99 Manchester United
1999/00 Real Madrid
2000/01 Bayern München
2001/02 Real Madrid
2002/03 Milan
2003/04 Porto
2004/05 Liverpool
2005/06 Barcelona
2006/07 Milan
2007/08 Manchester United
2008/09 Barcelona
2009/10 Internazionale
2010/11 Barcelona

2011/12 Chelsea

Daftar Klub Dengan Jumlah Gelar Terbanyak
9 Real Madrid
7 Milan
5 Liverpool
4 Ajax, Bayern Muenchen, Barcelona
3 Manchester United, Inter
2 Benfica, Juventus, Nottingham Forest, Porto
1 Aston Villa, Borussia Dortmund, Celtic, Crvena Zvezda (Red Star), Feyenoord, Hamburg SV, Olympique Marseille, PSV, Steaua Bucharest, Chelsea

Negara Dengan Jumlah Gelar Juara Terbanyak

13 Spanyol
12 Italia , Inggris
6 Belanda, Jerman (Barat)
4 Portugal
1 Prancis, Rumania, Skotlandia, Yugoslavia

Kamis, 10 Mei 2012

DATU MUSENG DAN MAIPA DEAPATI ( ROMEO JULIET MAKASSAR )






Kisah cinta nan mengharukan antara Datu Museng dan Maipa Deapati ini berangkat dari cerita rakyat yang sangat populer dikalangan masyarakat Makassar, yang dituturkan oleh orang-orang tua kepada anak cucu mereka, agar mereka dapat memetik hikmah dari pendidikan, perjuangan dan kesetiaan. Begitu hebatnya cerita antara Datu Museng putra bangsawan kerajaan Gowa dan Maipa Deapati Putri bangsawan Kerajaan Sumbawa ini tertanam di dalam benak orang-orang makassar, sehingga kemudian nama dari kedua tokoh legendaris ini pantas untuk diabadikan sebagai nama jalan di Kota Makassar, Nama jalan itu seakan sengaja dibuat berdampingan saling berdekatan seakan-akan Pemerintah Kota Makassar turut merestui hubungan percintaan abadi mereka berdua.
Pada ujung barat jalan Datu Museng, terdapat situs makam dengan dua nisan kayu yang bersanding kukuh, yang konon katanya itulah makam kedua pasangan cinta ini dimakamkam, Datu Museng dan kekasihnya Maipa Deapati.
Kisah percintaan Datu Museng dan Maipa Deapati ini berawal ketika Addengareng kakek dari Datu Museng melarikan diri bersama cucunya menyebarangi lautan nan luas menuju ke negeri sumbawa, akibat dari politik adu domba yang dilancarkan penjajah belanda di tanah Gowa, yang membuat bumi Gowa bergejolak dan tidak kondusif lagi untuk dijadikan tempat tinggal yang aman.
Di Pulau sumbawa itulah akhirnya Datu Museng tumbuh menjadi seorang yang dewasa dan bertemu dengan Maipa Deapati di Pondok Pengajian Mampewa. Akhirnya tumbuh benih cinta dihati Datu Museng sejak pertama kali melihat sosok Maipa Deapati yang anggun dan mempesona. Namun cinta dari Datu Museng kepada Maipa Deapati menjadi sebuah cinta yang terlarang karena Maipa Deapati telah ditunangkan dengan seorang pangeran Kesultanan Sumbawa, Pangeran Mangalasa.
Setelah kakek Datu Museng mengetahui bahwa cucunya mencintai Maipa Deapati, alangkah terkejutnya sang kakek. Sang kakek dari Datu Museng merasa malu karena merasa bahwa mereka hanyalah sebongkah emas yang telah terkotori oleh lumpur, sedangkan Maipa Deapati adalah Putri Kerajaan Sumbawa

Datu Museng mengetahui bahwa cintanya kepada Maipa Deapati terhalang oleh tembok yang kokoh, maka atas anjuran sang kakek, berangkatlah Datu Museng ke tanah Mekkah untuk berguru. Disanalah ia mendapatkan ilmu "Bunga Ejana Madina". Kepergian Datu Museng ke tanah Mekah ternyata bukannya membuat kedua insan yang saling mencinta ini menjadi terpisah, melainkan perpisahan itu malah semakin membuat ikatan hati antara keduanya semakin kuat.

Selepas mendapatkan ilmu di tanah rantau Mekkah, maka Datu Museng pulang kembali ke Sumbawa dengan membawa rindu yang sangat besar kepada Maipa Deapati. Sesampainya di Sumbawa ternyata sang kekasih yang dirindukan jatuh sakit, maka Datu Musengpun menolong Maipa Deapati dengan ilmu yang didapatkannya dari tanah Mekkah.

Mendengar kabar bahwa sang tunangan Maipa Deapati mencintai Datu Museng, membuat perasaan cemburu di hati Pangeran Mangalasa bergejolak, Pangeran Mangalasa lantas bersekutu dengan Belanda dengan tujuan untuk membunuh Datu Museng. Tetapi Datu Museng yang teramat sakti itu tak dapat dikalahkan oleh Pangeran Mangalasa dan Belanda.

Akhirnya Datu Museng mendapat restu dari Sultan Sumbawa, merekapun lantas dinikahkan dan Datu Museng diberikan pangkat sebagai Pangllima perang. Belum beberapa lama menikah, berhembus kabar bahwa di Makassar tengah bergejolak kekacauan yang disebabkan oleh pemerintah Belanda yang berkuasa ditanah Makassar. Sultan Lombok lantas meminta Datu Museng ke Makassar untuk menyelesaikan masalah tersebut.

Maka berangkatlah Datu Museng dan istrinya Maipa Deapati ke tanah Makassar, setibanya di Makassar, Datu Museng mendapatkan tantangan lain karena Kapten dari Belanda itu justru mencintai Maipa Daepati, dan melancarkan berbagai macam serangan kepada Datu Museng untuk merebut Maipa Deapati dari Datu Museng. Akibatnya Datu Musengpun terdesak akibat serangan Belanda tersebut. Namun bagi Maipa Deapati cintanya ke Datu Museng adalah harga mati baginya, ia tidak mengijinkan seorang pun untuk mengambilnya dari Datu Museng. Sang kekasih Maipa Deapati lantas meminta kepada Datu Museng untuk membunuhnya, sebab cintanya kepada Datu Museng hanya untuk Datu Museng seorang, ia merasa lebih biak mati daripada harus menyerahkan dirinya kepada Belanda.

Dengan sangat berat hati Datu Museng lantas mengabulkan permintaan sang istri, iapun lantas menikamkan Badik pusakanya ke leher sang kekasih tercinta. Setelah itu, karena rasa cinta yang dalam kepada istrinya Maipa Deapati, Datu Musengpun lantas melepaskan semua ilmu ilmu yang dimilikinya, membiarkan dirinya dibunuh oleh penjajah Belanda. Kisah inilah yang terus dikenang oleh masyarakat makassar, kisah percintaan Romeo And Juliet Versi Makassar.

EMMY SAELAN

uburan seadanya itu digali kembali. Keluarganya masih bisa mengenali jenazah gadis yang terkubur itu dari konde dan giginya yang cacat.  Kemeja dan celana panjangnya yang lusuh tercabik masih bisa dikenali. Gadis itu memang dikenal suka berpakaian seperti laki-laki ketika bergerilya. Kepergian gadis itu sungguh memukul penghuni rumah di jalan Ali Malaka 20 (dulu bernama Tweede Zeestraat) Makassar.
Pantai Losari Makassar, tak jauh dari rumah Emmy Saelan.

 
Rumah duka itu letaknya kira-kira sekitar 2 km dari Pantai Losari yang terkenal dengan sunset-nya yang indah. Pemilik rumah itu, Amin Saelan seorang tokoh pejuang dan tokoh Taman Siswa Makassar, harus menerima kenyataan pahit. Putrinya yang manis dan berkulit putih, Emmy Saelan telah gugur dalam pertempuran di hutan di luar kota Makassar. Sebagai catatan, Amin Saelan, ayah Emmy di jaman revolusi adalah juga penasehat organisasi Pemuda Nasional Indonesia di Makassar yang diketuai oleh  Manai Sophiaan (ayah aktor Sophan Sophiaan). Dengan dikelilingi oleh atmosfir para pejuang di sekitarnya, sedikit banyak turut memotivasi kepahlawanan Emmy.


Emmy Saelan
                            
Emmy Saelan adalah pejuang wanita berdarah Sulawesi Utara. Di jaman Jepang dia bekerja sebagai perawat di Rumah Sakit Katolik “Stella Maris” Makassar. Dia juga pernah ikut aksi pemogokan Stella Maris karena protes terhadap penangkapan Sam Ratulangi, Gubernur Sulawesi ketika itu. Tahun 1946 Sam Ratulangi oleh Belanda ketika itu diasingkan ke Serui, Irian Jaya.

Emmy adalah salah satu  potret pejuang muda jebolan SMP Nasional di kota Makassar. Sekolah yang sampai sekarang masih berdiri di jalan Dr. Sam Ratulangi Makassar ini, patut dikenang sebagai salah satu monumen sejarah. Karena di masa lalu sekolah ini banyak menelurkan tokoh pejuang republik. Letaknya di sekitar belakang stadion Mattoanging.

Ketika agresi militer kedua Belanda, para pelajar sekolah itu bersatu  membentuk laskar perjuangan dan bergerilya. Mereka itu, di antaranya Emmy Saelan sendiri, Robert Wolter Mongisidi dan Maulwi Saelan, adik Emmy. Juga masih banyak beberapa nama lain. Maulwi Saelan di kemudian hari dikenal sebagai pengawal pribadi Bung Karno (resimen Tjakrabirawa) dan mantan kiper PSSI.  Adik Emmy yang lain, Elly Saelan kemudian juga dikenal publik dengan nama Elly Yusuf, istri Jendral M. Yusuf, mantan Menhankam Pangab.

Selain sebagai sekolah yang menghasilkan alumni pahlawan terkenal seperti Emmy Saelan, Maulwi Saelan dan Mongisidi, sekolah ini juga pernah menjadi tempat persembunyian dan markas pejuang. Sebagai catatan, di SMP Nasional ini pula Mongisidi bersembunyi dan ditangkap Belanda pada suatu malam, tanggal 28 Februari 1947. Ketika ditangkap, langsung tangannya diborgol dan kakinya dirantai.

SMP Nasional Makassar sekarang. Dulu markas perjuangan Emmy Saelan dan Wolter Mongisidi.
(Foto: Julius Sandhi)

Sejak kedatangan Kapten Westerling ke Makassar, ruang gerak anak-anak pejuang di SMP Nasional tadi semakin sempit. (Tentang Westerling, baca artikel saya “Tembak Bung Karno, Rugi 30 Sen”). Penangkapan besar-besaran di seluruh kota berlangsung intensif. Cara penangkapannya kali ini tidak main-main. Siapa yang tidak kenal kekejaman Westerling? Pasukan Westerling memang sengaja didatangkan dari Belanda, dengan misinya yang pertama. Yaitu penumpasan pemberontakan di Sulawesi Selatan. Soalnya pemberontakan di daerah itu sudah begitu memusingkan pihak Belanda, yang akhirnya mendapatkan solusinya. Yaitu, mendatangkan Kapten Westerling yang bengis dan kejam.

Sebelum kedatangan Westerling, murid-murid SMP Nasional Makassar masih bisa belajar dengan baik. Tapi sejak kedatangan Westerling, sekolah itu terpaksa ditutup. Pasalnya, Belanda sudah mencium sekolah itu sebagai sarang ekstrimis. Pelajar SMP itu umumnya banyak yang berusia “matang” yang seharusnya usia mereka  tergolong usia pelajar SMA ke atas. Tapi karena di jaman Jepang mereka tidak bisa bersekolah layak, terpaksa mereka harus mengejar ketinggalan di SMP Nasional, karena ketika itu belum ada SMA Nasional di Makassar.

SMP Nasional itu memang didirikan tahun 1945 oleh tokoh-tokoh pejuang di Makassar yang tidak setuju dengan rencana akan dibukanya sekolah NICA. Guru-guru yang mengajar di kala itu adalah para tokoh republik.

Suntikan pendidikan politik dari para tokoh republik mengobarkan semangat pelajar-pelajar SMP Nasional itu. Karena itu mereka lalu membentuk laskar pejuang yang bernama Harimau Indonesia. Anggotanya antara lain Emmy Saelan, Maulwi Saelan dan Robert Wolter Mongisidi yang menjabat sebagai kepala staf. 

Robert Wolter Mongisidi ketika itu terkenal dengan kenekatannya dan keberaniannya. Misalnya melempari granat dan menyerang markas Belanda hingga kocar-kacir. Belum terhitung memblokade jalan, meledakkan jembatan, merebut senjata, memutuskan komunikasi dan menyebarkan pamflet yang berisi seruan pada Belanda untuk segera menyerah. Selain menembaki kamp-kamp Belanda, mereka juga berani menembaki rumah-rumah pembesar Belanda.

Belanda yang sudah kewalahan menghadapi teror tanpa henti itu, akhirnya memutuskan mendatangkan pasukan khusus langsung dari Belanda di bawah pimpinan Kapten Westerling. Pasukan Harimau Indonesia ketika itu memang bikin pusing Belanda. Misalnya Mongisidi melucuti tentara Belanda yang sedang berpatroli. Merampas mobilnya, senjatanya, bahkan seragam tentara itu juga dilucuti hingga tinggal pakaian dalam. Dengan seragam rampasan itu Wolter dan pasukannya menyaru sebagai tentara KNIL, mendatangi markas KNIL dan menembaki markas itu tanpa ampun. Jalan tempat Mongisidi melucuti tentara Belanda, hingga kini diberi nama jalan Wolter Mongisidi.
 

Peran Emmy di laskar Harimau Indonesia yaitu memimpin laskar wanita, sekaligus bertugas di palang merah. Karena kulitnya yang putih, dia mendapat nama sandi Daéng Kébo'  (membaca huruf é seperti huruf é  pada kata “béda”). Daéng adalah panggilan sapaan di Makassar, kira-kira sama artinya kalau menyapa dengan kata “Kak”.

Anggota laskar lainnya mengenang, bagaimana Emmy menentukan aturan menggunakan sandi untuk mengenal sesama pejuang. Misalnya jika dia memegang rambut dan orang yang ditemui juga memegang rambut, maka artinya orang itu adalah sesama teman pejuang.  

Takdir tak dapat ditolak. Tengah malam, di hutan kampung Kassi-Kassi di luar kota Makassar, tanggal 23 Januari 1947 adalah akhir hidup Emmy.

Ketika itu Emmy yang memimpin 40 orang sekaligus memimpin palang merah, terjebak dalam pertempuran. Pertempuran itu dikoordinasi Robert Wolter Mongisidi, yang kala itu sedang berada di kampung Tidung, tak jauh, namun terpisah dari lokasi Emmy. Karena terkepung dengan pasukan tank Belanda dan dihujani tembakan, Mongisidi memerintahkan anak buahnya untuk mundur.

Di saat yang sama di lokasi terpisah, Emmy yang juga membawa korban-korban luka, berusaha mundur. Tapi sudah terlambat. Kepungan begitu ketat. Persenjataan musuh jauh lebih kuat. Tak ada lagi ruang gerak bagi pejuang-pejuang muda yang bersenjata seadanya itu.

Emmy semakin terdesak dan terkepung. Tentara Belanda berteriak padanya untuk segera menyerah.  Teman Emmy semua sudah gugur tertembak. Tinggal Emmy sendiri yang masih hidup. Perintah untuk menyerah tak digubris Emmy. Sebagai jawaban, dilemparkannya granat ke pasukan Belanda itu. Sejumlah tentara Belanda tewas karenanya. Namun Emmy juga akhirnya gugur oleh ledakan granatnya sendiri. 

Jenazahnya kemudian dikuburkan oleh Belanda saat itu juga langsung di lokasi kejadian. Sesudah situasi pulih, jenazah itu digali kembali dan dipindahkan ke Taman Makan Pahlawan Panaikang. Di sana dia dimakamkan secara layak dengan penghormatan besar.

Monumen Emmy Saelan, lokasi gugurnya Emmy, dulu masih hutan
                        

Untuk mengenang kepahlawanannya, jalan yang sering dilalui Emmy ketika bergerilya dinamakan jalan Emmy Saelan. Letaknya tidak jauh dari rumah dinas Gubernur Sulawesi Selatan di jalan Sam Ratulangi Makassar.

Pernah diusulkan untuk membangun patung Emmy. Namun usul itu ditolak keluarga karena bertentangan dengan keyakinan agama yang dianut. Sebagai gantinya, di lokasi gugurnya Emmy dibangun Monumen Emmy Saelan. Monumen ini terletak di kota Makassar di jalan Toddopuli. Sayang sekali keadaan monumen ini sekarang menyedihkan dan tak terawat. Hiasan monumen seperti Garuda Pancasila tampak telah rusak, seperti dicabut paksa.  Rumput-rumput ilalang di sekitarnya tumbuh liar meninggi.

Ketika masih duduk di bangku SD, saya ingat ketika itu diwajibkan guru menghafal semua nama  pahlawan wanita dari berbagai daerah. Emmy Saelan, Tjoet Njak Dien, Dewi Sartika, Kartini, Tjoet Njak Meutia, Christina Martha Tiahahu, Rasuna Said, Maria Walanda Maramis dan nama lainnya.


 


Sesudah itu semua nama tadi dihubungkan dengan tema emansipasi, kesetaraan antara wanita dan pria. Lalu semua nama-nama tadi disebut “pahlawan wanita”. Kedengaran emansipatif. Namun tanpa disadari, penggunaan kata “wanita” di belakang kata pahlawan justru bagai antithese emansipasi.
Bandingkan saja jika pahlawan itu pria, tidak disebut “pahlawan pria” (Seolah artinya, wajar saja kalau pria itu pahlawan, namanya juga pria). Jika polisi itu pria, tidak disebut polisi pria. Jika pengusaha itu pria, tidak disebut pria pengusaha. Jika pelukis itu pria, tidak disebut pelukis pria.... kecuali pria itu hanya melulu melukis wanita, barulah dia disebut  “pelukis wanita” (?).

Pengkotakan kata “wanita” seperti pahlawan wanita, polisi wanita, wanita pengusaha, wanita pelukis tentu tidak dimaksudkan sebagai emansipasi lip-service. Rasanya kaum wanita sendiri tidak cengeng menuntut embel-embel kata “wanita” untuk kepahlawanan kaumnya. Kalaupun ada yang harus dituntut, maka itu adalah gugatan ketika jejak kepahlawanan (baik moril maupun materil) ditelantarkan, dilecehkan, dicurigai, dikecilkan, tidak dihargai, tidak dilestarikan dan tidak dirawat dengan baik.

Tanpa bermaksud melupakan spirit dan nilai kepahlawanan para tokoh, saya pikir kepahlawanan tidak relevan dihubungkan dengan issue gender. Idealisme apapun yang diperjuangkan seorang pahlawan, entah memperjuangkan hak wanita, entah rela berkorban  demi tanah air,  pahlawan adalah pahlawan. Tidak perduli wanita atau pria.

Nilai heroisme Emmy sama gagahnya dengan heroisme Mongisidi. Mongisidi disebut pahlawan.   Emmy juga disebut pahlawan....tanpa perlu melekatkan embel-embel kata “wanita” di belakang kata pahlawan.

ROBERT WOLTER MONGINSIDI





                                                        ROBERT WOLTER MONGINSIDI


Tanggal 14 Februari 1925, dari kandungan ibu pertiwi lahirlah seorang anak bangsa nan perkasa, Robert Wolter Monginsidi, anak suku Bantik di pesisir desa Malalayang, sebagai putera ke 4 dari 11 bersaudara, hasil buah cinta Petrus Monginsidi dengan Lina Suawa. Wolter Monginsidi dengan panggilan kesayangan “BOTE” tumbuh sebagai seorang anak yang berani, percaya diri, jujur, serta cerdas dan pantang menyerah.
Menuntut ilmu pengetahuan menjadi tekadnya yang bulat walau situasi dan kondisi sangat berat untuk diterobos. Namun dengan semangatnya yang membara ia berjuang merebut peluang memasuki dunia pendidikan HIS tahun 1931, kemudian melangkah penuh kepastian ke Sekolah MULO Frater Don Bosco Manado dan berlanjut ke Sekolah Pertanian yang didirikan Jepang di Tomohon serta Sekolah Guru Bahasa Jepang, yang akhirnya membawa dia sebagai guru Bahasa Jepang di Malalayang Liwutung dan Luwuk Banggai dalam usia muda 18 tahun.

Genggaman tangan-tangan penjajah, semakin membangkitkan semangat juang Wolter Monginsidi, untuk terus mengejar cita-citanya, belajar dan terus belajar, sampai ia memapaki kakinya di Makassar dan masuk SNIP Nasional kelas III di tahun 1945.
Namun di hari-hari perjuangannya menuntut ilmu di Makassar. Wolter Monginsidi semakin tak kuasa menyaksikan kekejaman kaum penjajah. Jiwa patriotismenya makin membara. Untuk lebih efektif dan berdaya guna semua potensi yang ada untuk kepentingan perjuangan mempertahankan kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) maka pada tanggal 17 Juli 1946, diadakan konferensi di desa Rannaya. Dalam konferensi itu, dibentuk suatu induk organisasi kelaskaran yang disebut LAPRIS (Laskar Pemberontak Rakyat Indonesia Sulawesi), terpilih sebagai Ketua Ranggong daeng rongo, Sekjen Wolter Monginsidi.
Keberanian kecerdasan dan pembawaan diri Wolter Monginsidi telah membuatnya makin disegani dan dipercaya sampai memimpin aksi pertempuran melawan tentara Belanda baik di dalam kota maupun di luar kota. Dengan berbagai taktik dan strategi Wolter memimpin gerakan perlawanan yang mencengangkan serta menegangkan pihak Belanda.
Keberhasilan dalam perjuangannya melawan penjajah, serta tekadnya untuk membebaskan bangsa ini dari cengkeraman penjajah sungguh tak dapat diraihnya dengan tuntas karena pada tanggal 28 Februari 1947 Wolter ditangkap tentara Belanda di Sekolah SMP Nasional Makassar.
Walau rantai-rantai mengikatnya di belakang terali besi, namun niat untuk meneruskan perjuangan bersama putra-putra bangsa terbaik tetap bergelora agar terbebas dari kunkungan penjajah. Pada tanggal 17 Oktober 1948 malam, bersama Abdullah Hadade, HM Yoseph dan Lewang Daeng Matari melarikan diri dari penjara melalui cerobong asap dapur, sebelum pelarian dilaksanakan, kawan-kawan Wolter dari luar telah menyelundupkan 2 buah granat tangan yang dimasukan di dalam roti.
Namun, walaupun tekadnya dapat terwujud tapi udara kebebasan hanya dihirupnya selama 10 hari sehingga impiannya melanjutkan perjuangan pupus, ketika pasukan Belanda menyekap kembali Wolter pada tanggal 28 Oktober 1948. Tertangkapnya Wolter akibat dari ruang gerak mereka sudah sangat sempit, juga, akibat bujukan dan rayuan Belanda untuk memberi hadiah bagi siapa saja yang menangkap Wolter diberi uang Rp 400,- Abdullah Hadade Rp 300,- HM Yoseph Rp 200,- dan Lewang Daeng Matari Rp 100,-. Dengan hadiah uang para pejuang kita dikhianati, di mana-mana ada mata-mata Belanda sehingga Wolter pernah mengatakan “ Tidak ada lagi bantal untuk kubaringkan kepalaku di sini.”
Wolter dimasukkan ke dalam tahanan di Kiskampement Makassar dengan tangan dan kakinya dirantai dan dikaitkan di dinding tembok. Wolter dijatuhi vonis hukuman mati pada tanggal 26 Maret 1949 oleh hakim Meester B Damen.
Dalam perenungannya menjalani hari-hari penuh duka mendekam di penjara menanti eskekusi hukum mati, Robert Wolter Monginsidi, mencoba menerobos kembali ke alam bebas lewat goresan pena yang dirangkai dalam deretan kata bermakna untuk saudara-saudaranya dan anak-anak bangsa sebagai ungkapan tekad dan kesetiaannya terhadap ibu pertiwi Indonesia serta harapan untuk meneruskan perjuangan suci buat bangsanya.
Renungkanlah sekilas cuplikan pesan-pesan dalam kata-kata bijak Robert Wolter Monginsidi berikut ini;
- Jangan takut melihat masa yang akan datang. Saya telah turut membersihkan jalan bagi kalian meskipun belum semua tenagaku kukeluarkan.
- Jangan berhenti mengumpulkan pengetahuan agar kepercayaan pada diri sendiri tetap ada dan juga dengan kepercayaan teguh pada Tuhan, janganlah tinggalkan Kasih Tuhan mengatasi segala-galanya.
- Bahwa sedari kecil harus tahu berterima kasih tahu berdiri sendiri…….belajarlah melipat kepahitan ! Belajar mulai dari 6 tahun…dan jadilah contoh mulai kecil sedia berkorban untuk orang lain.
- Apa yang saya bisa tinggalkan hanyalah rohku saja yaitu roh “setia hingga terakhir pada tanah air ‘ dan tidak mundur sekalipun menemui rintangan apapun menuju cita-cita kebangsaan yang ketat.
- Memang betul, bahwa ditembak bagi saya berarti kemenangan batin dan hukuman apapun tidak membelenggu jiwa……
- Perjuanganku terlalu kurang, tapi sekarang Tuhan memanggilku, rohku saja yang akan tetap menyertai pemuda-pemudi…semua air mata, dan darah yang telah dicurahkan akan menjadi salah satu fondasi yang kokoh untuk tanah air kita yang dicintai Indonesia.
- Saya telah relakan diriku sebagai korban dengan penuh keikhlasan memenuhi kewajiban buat masyarakat kini dan yang akan datang, saya penuh percaya bahwa berkorban untuk tanah air mendekati pengenalan kepada Tuhan yang Maha Esa.
- Jika jatuh sembilan kali, bangunlah sepuluh kali, jika tidak bisa bangun berusahalah untuk duduk dan berserah kepada Tuhan.
Ketika tiba pada hari Senin tanggal 05 September 1949 sebagai hari penghukuman pada sekitar jam 05.00 subuh, di Panaikang Tello, putera bangsa terbaik Robert Wolter Monginsidi dengan gagah berani berdiri tegak di hadapan regu penembak.
Wolter menulis surat pada secarik kertas sebagai pernyataan keyakinannya kepada Tuhan dan perjuangannya untuk Kemerdekaan Bangsa Indonesia tidak pernah pudar yaitu:
- Setia Hingga Akhir di Dalam Keyakinan,
- Saya minta dimakamkan di Polombangkeng karena disana banyak kawan saya yang gugur.
- Sampaikan salam saya kepada Papa, saudara-saudara saya di Malalayang serta teman-teman seperjuangan, saya jalani hukuman tembak mati ini dengan tenang, tidak ada rasa takut dan gentar demi Kemerdekaan Bangsa Indonesia tercinta.
Sesaat sebelum menuju ke tempat penembakan Wolter menjabat tangan semua yang hadir dan kepada regu penembak. Wolter berkata; “ Laksanakan tugas saudara, saudara-saudara hanya melaksanakan tugas dan perintah atasan, saya maafkan saudara-saudara dan semoga Tuhan mengampuni dosa-dosa saudara-saudara.“
Ketegaran dan keteguhan hati menghadapi moncong-moncong senjata yang dibidikan kepadanya dan menolak ketika matanya akan ditutup, ia berucap; “ Dengan hati dan mata terbuka, aku ingin melihat peluru penjajah menembus dadaku.“
Dengan pekikan’ Merdeka….merdeka..merdeka.. !!! dari Wolter, maka 8 butir peluru dimuntahkan ke tubuhnya, 4 peluru di dada kiri, 1 di dada kanan, 1 di ketiak kiri menembus ketiak kanan, 1 dipelipis kiri dan 1 di pusar, dan seketika ia terkulai. Wolter gugur dalam usia 24 tahun.
‘SETIA HINGGA TERAKHIR DALAM KEYAKINAN” itulah sebuah tulisan Wolter yang ditemukan pada Alkitab yang dibawahnya ketika eksekusi dilakukan. Itulah akhir kisah perjuangan Robert Wolter Monginsidi.
Memang masa perjuangannya terlalu singkat,. Tapi masa perjuangannya ditumpahkan dalam pergulatan batin, wawasan dan cakrawala pikirannya yang luas semangat nasionalisme dan jiwa patriotisme serta kecerdasannya tidaklah sependek waktu perjuangan yang dipersembahkannya untuk ibu pertiwi.
Untuk menghormati perjuangannya, maka sederet penghargaan dianugerahkan pemerintah Indonesia kapada sang pahlawan Robert Wolter Monginsidi. Keharuman namanya, seperti Bintang Gerilya (tahun 1958), Bintang Maha Putera Kelas III (tahun 1960), serta ditetapkannya sebagai Pahlawan Nasional (1973).
Indonesia, inilah putramu yang datang dari rahim bumi pusaka Indonesia…..