Perjuangan Karaeng Galesong Di Tanah Jawa
Nama lengkapnya adalah, I Manindori I Kare Tojeng Karaeng Galesong. Dia adalah putra sulung Sultan Hasanuddin dari istri ke -4 nya, I Lo'mo Tobo'. Karaeng Galesong lahir di Majannang pada tahun 1655. Beliau di nobatkan sebagai Karaeng Galesong sejak usia 8 tahun.
Di awal tahun 1667, terjadi pertempuran sengit antara Kerajaan Gowa melawan Belanda di bawah pimpinan Speelman yang dibantu oleh Arung Palakka. Pada tanggal 18 November 1667, Sultan Hasanuddin akhirnya menandatangani perjanjian Bungaya.
Perjanjian Bungaya ini adalah awal petualangan Karaeng Galesong melawan Belanda di tanah Jawa. Rasa kecewa terhadap isi perjanjian Bungaya membuat Karaeng Galesong memilih pergi dari Kerajaan Gowa. Bersama sahabatnya Karaeng Bontomarannu, beliau berangkat ke Banten bersama ribuan prajurit Gowa. Saat itu, Karaeng Galesong adalah Panglima angkatan laut kerajaan Gowa.
Dari Banten, Karaeng Galesong mendengar perselisihan di kerajaan Mataram. Adalah Trunojoyo, seorang raja Madura yang tidak senang dengan Raja Mataram yang dianggapnya mendukung kolonial Belanda. Rasa keakraban dan prinsip nasionalisme yang mulai tumbuh dalam dada karaeng Galesong dan Karaeng Bontomarannu membuat mereka memutuskan meninggalkan Banten dan bergabung dengan pasukan pemberontak Trunojoyo. Agaknya kebencian terhadap Belanda sudah demikian besar di dada karaeng Galesong, sehingga dimanapun dan kapanpun ada kesempatan untuk menghadapi Belanda mereka pasti kesana.
Setibanya di Jawa Timur, Pasukan Karaeng Galesong bergabung dengan Trunojoyo dan dari pihak lawan adalah Susuhunan Mataram Amangkurat I bersama Belanda. Kisah perlawanan patriotik prajurit makassar di Jawa Timur begitu mengetarkan pihak lawan.
Belanda dan pasukan Mataram berhasil di pukul mundur tetapi sayang pada tahun 1672, Karaeng Bontomarannu gugur dalam sebuah pertempuran. Meninggalnya Karaeng Bontomarannu membuat semangat lasykar Makassar semakin besar untuk membalaskan dendam kepada Belanda. Dibawah kendali langsung Karaeng Galesong, Pasukan Trunojoyo semakin berjaya.
Hubungan antara Trunojoyo dan Karaeng Galesong kemudian dipererat dengan perkawinan Karaeng Galesong dengan putri Trunojoyo.
Kekalahan beruntun pihak Belanda, mendorong Gubernur jenderal belanda di Batavia mengirim arsitek perjanjian Bungaya Speelman ke Jawa Timur untuk memadamkan pemberontakan Karaeng Galesong.
Meninggalnya Karaeng Galesong ada 2 versi. yang pertama mengatakan bahwa beliau meninggal di Jepara pada 21 Oktober 1679 saat terjadi perang mati-matian selama 7 minggu melawan Belanda. Versi lain mengatakan bahwa karaeng Galesong berhasil di bujuk oleh Karaeng Naba, panglima Lasykar Daeng di Yogya untuk berhenti membantu Trunojoyo. Trunojoyo menjadi marah dan menghukum penggal Karaeng Galesong.
Setelah gugurnya Karaeng Galesong, perlawanan Trunojoyo menjadi kendur, sehingga beliau di tangkap Belanda dan di bunuh dengan sebuah tikaman langsung oleh Amangkurat II.
Berakhirnya perjuangan Karaeng Galesong di Jawa Timur adalah akhir perjuangan tak kenal gentar dari putra putri Makassar yang selama 12 tahun menghantui belanda. Dialah Karaeng Galesong, yang sepanjang hidupnya di berikan untuk menentang Belanda, baik itu di kampung halamannya di Makassar maupun di Kerajaan di jawa Timur.
Abadi di Ngantang
Adalah Ngantang, sebuah daerah di kabupaten Malang, tidak jauh dari kota Batu yang menjadi peristirahatan terakhir sang karaeng. Daerah ini sejuk dan asri, dan di sinilah terdapat sebuah pemakaman yang luasnya sekitar seratus meter persegi, dengan beberapa pohon kamboja tua.
Suasana pemakaman nampak bersih, hanya terdapat beberapa batu nisan dengan tatanan batu bata tua yang sudah berlumut dan sebuah gundukan agak memojok dengan nisan yang telah berlumut pula. Diyakini makam ini adalah kerabat Karaeng Galesong. Tidak jauh dari gundukan tersebut, terdapat batu nisan dari marmer yang tampaknya belum begitu lama dipasang. Di sinilah makam Karaeng Galesong berada. Kuburan yang ditata dengan tumpukan batu bata dipenuhi lumut. Di antara nisan dan kuburan, berdiri tiang sekitar satu meter dengan bendera merah putih. Di bawah kibaran bendera terdapat tulisan kata “pejuang”.
Pada prasasti marmer di kuburan itu, terukir tulisan berwarna emas menggunakan bahasa Arab, yang terjemahan bebasnya berarti, “di sinilah dimakamkan seorang pejuang yang berjuang dijalan Allah.” Di bawah prasasti ini terdapat tulisan nama sebuah kelompok pengajian, yang menyebut diri warga Malang keturunan Galesong.
Bugis Makassar di Malang
Masyarakat Bugis Makassar memang banyak bermukim di Malang dan sekitarnya. Karaeng Galesong pun menjadi kebanggaan. Ziarah ke makam sang karaeng merupakan rutinitas. Dua tahun lalu, misalnya, masayarakat Sulawesi-Selatan yang tergabung dalam Kerukunan Keluarga Sulawesi Selatan (KKSS Malang Raya) dan Ikatan Kekeluargaan Mahasiswa Indonesia Sulawesi-Selatan (IKAMI Sul-Sel Cab. Malang) mengadakan acara memperingati hari korban 40.000 Jiwa, yang salah satu kegiatannya adalah berziarah ke makam Karaeng Galesong.
Salah satu artikel di buletin Anging Mamiri yang diterbitkan oleh KKSS Malang raya, Salahauddin Basir menuliskan bahwa Dr. Wahidin Sudirohusodo, motor pergerakan Budi Utomo masih merupakan keturunan Galesong. Pada tahun 60-an, seorang guru besar di Universitas Gajah Mada bernama Prof. Mr.Djojodiguno, pakar hukum yang terkenal, sering bertutur kepada mahasiswanya bahwa ia berdarah Makassar, merupakan keturunan Karaeng Galesong. Tentu kita juga masih ingat, Setiawan Djodi, seniman dan budayawan yang dinobatkan sebagai keturunan Karaeng Galesong beberapa tahun lalu.