Dear diary… Bla… Bla… Bla…
Bagi seorang anak gadis, mungkin itulah tempatnya mencurahkan hati dengan sejujurnya. Lebih jujur daripada dia bercerita pada ibunya sendiri. Catatan harian.
Juga bagi orang-orang seperti Kurt Cobain, yang punya demikian banyak pikiran liar, orisinil, dan indah, namun sangat pemalu untuk menceritakannya pada orang lain.
Dan apa yang akan terjadi jika catatan harian itu terungkap ke orang lain? Si anak gadis tentu akan marah besar!
Lalu bagaiman dengan Kurt?
Kita takkan pernah tahu, karena ketika akhirnya empat buku berisi catatan hariannya diterbitkan dalam sebuah buku setebal 294 halaman berjudul Kurt Cobain Journals, dirinya sudah lama mati…
Jika melihat kalimat ini: “Jangan baca diariku saat aku pergi”, kita pasti menduga bahwa dia akan kecewa sekali jika catatan hariannya dibaca banyak orang. Namun kemudian, tepat dibawah kalimat itu, dia menulis: “OK. Aku akan pergi kerja sekarang. Ketika kamu bangun pagi ini, silahkan baca diariku. Telaah tulisanku, dan terkalah diriku.”
Kurt, bahkan dalam catatan hariannya yang demikian personal, tetaplah pribadi yang penuh kontradiksi.
Semua orang di dunia ini, yang buta soal Nirvana atau anak grunge puritan yang bahkan cara bernafasnya pun mirip Kurt Cobain, mengenal Kurt sebagai sosok perusak. Di panggung maupun dalam kesehariannya, kerusakan seperti menjadi bayangan sejatinya.
Namun betapa dalam jurnal ini terungkap bahwa sesungguhnya, dibalik citra penuh kekerasan itu, Kurt adalah seorang pria yang sangat halus perasaannya.
Tak kurang dua halaman yang penuh berisi pujian dan permintaan maaf dituliskannya kepada Dave Foster, drummer kedua Nirvana, dalam surat pemecatan yang dikirimnya sesaat sebelum Nirvana merekam Love Buzz.
Betapa dia sangat memikirkan keselamatan Frances Bean, anak semata wayangnya, hingga dia takut membawanya berkendara dalam mobil. Betapa dia berupaya memastikan kebahagiaan anaknya itu, hingga dia berjanji pada diri sendiri, jika nanti akhirnya dia bercerai dengan Courtney Love, mereka berdua harus tetap akur dan dilarang bertengkar saat Frances ada disekitar. Ah, cinta!
Dan humor adalah bagian tak terpisahkan dari pikirannya yang cemerlang. Dalam surat, catatan, dan gambar komiknya, terlihat betapa jenaka dan usil sel-sel kelabu di kepalanya yang penuh cerita duka itu.
Jika ada kebencian di hatinya, maka itu ditimpakannya pada pemerintahan Amerika Serikat yang (menurutnya) dikendalikan sekelompok sayap kanan yang luar biasa kolot, industri musik yang serakah dan penuh kepalsuan yang entah bagaimana logikanya dia simbolkan dengan Pearl Jam, dan deretan jurnalis rock yang disebutnya sebagai “musically retarded”.
Soal musik, Kurt lebih serius dari malaikat maut.
Ratusan lagu pop, rock, dan punk dikupas, dipelajari, dipahami, dan direkonstruksi ulang untuk menciptakan struktur lagu yang kemudian menjadi pakem Nirvana. Tapi dia menolak memainkan sebagian besar lagu-lagu itu di panggung. “Pelajari secukupnya, dan buatlah lagumu sendiri,” demikian tulisnya.
Tak kurang dari 7 gambar tangannya, menunjukkan rancangan gitar idamannya (perpaduan Fender Mustang dan Jaguar), ada dalam jurnal ini. Digambarkan dengan kedetilan orang sakit jiwa, mulai dari bentuk dan ketebalan badan gitar hingga bahan dan ukuran kepala gitarnya.
Konsep lirik, sampul album, maupun klip video berulang-ulang dituliskan. Juga digambarkan dengan goresan tangan. Jurnal ini dengan sangat menakjubkan mampu memperlihatkan bagaimana ide mengenai ketiga hal itu terus menghantui Kurt dan berubah menjadi semakin sempurna seiring halaman yang bergeser dari waktu yang paling lampau hingga ke hari kematiannya.
Dan Kurt jelas menaruh respek luar biasa tinggi pada musisi yang dianggapnya orisinil. Dale Crover dari The Melvins dan Eugene Kelly dari The Vaselines adalah dua dari sedikit musisi yang setaraf dewa dimatanya.
Dua ratus sembilan puluh empat halaman berisi tulisan cakar ayam dan sketsa milik Kurt ini akan membawa kamu ke perairan rahasia yang sebelumnya tidak diketahui dunia. Dari danau perenungannya tentang generasi X yang tenang, hingga sungai deras perjalanan ide musiknya yang menciptakan legenda bernama Nirvana. Dari riak ombak kisah cintanya kepada Courtney Love yang tidak dapat dibilang biasa-biasa saja, hingga gelombang besar mematikan pergulatannya dengan heroin.
Siapapun yang bersimpati pada Kurt, kemungkinan besar akan merasa kasihan dan memandang buku ini sebagai bukti tambahan betapa seluruh aspek dirinya dijual. Diperkosa.
Namun bagi siapapun yang memberi ijin jurnal ini terbit, mungkin ini adalah upaya untuk memberi gambaran terang pada sosok Kurt, yang selama dua dekade terakhir rasanya mendapat citra yang tidak semestinya di mata dunia.
Pada akhirnya, apapun tentang Kurt adalah kontradiksi. Kontroversi…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar